Tantangan E-Rapor dan Dilema Guru dalam Menentukan Nilai Siswa
Setelah ujian berakhir dan lembar jawaban siswa dikumpulkan, banyak orang mengira tugas guru telah usai. Padahal, bagi guru, terutama di jenjang SMK, momen pasca-ujian justru menandai dimulainya fase kerja yang paling kompleks. Inilah tahap ketika tanggung jawab profesional dan moral guru diuji secara bersamaan: mengolah nilai siswa secara adil, logis, dan bertanggung jawab.
Beberapa pekan lalu, pelaksanaan Sumatif Akhir Semester (SAS) Ganjil Tahun Pelajaran 2025–2026 untuk SMA dan SMK di Kabupaten Kupang resmi berakhir. Bagi siswa, ini adalah penutup rangkaian evaluasi belajar. Namun bagi guru, pekerjaan besar justru baru dimulai. Mengoreksi hasil ujian, merekap berbagai komponen penilaian, hingga menyusunnya menjadi rapor adalah rutinitas yang menuntut ketelitian tinggi dan energi yang tidak sedikit.
Di tengah proses tersebut, muncul wacana penerapan aplikasi e-rapor yang disosialisasikan sebelum SAS berlangsung. Harapannya tentu mulia: penilaian menjadi lebih tertib, efisien, dan terdokumentasi dengan baik. Teknologi digadang-gadang mampu memangkas beban administrasi guru. Namun realitas di lapangan tidak selalu sejalan dengan harapan.
Informasi yang beredar justru menimbulkan kebingungan. Guru disebut tetap harus mengisi rapor manual sebelum melanjutkan ke e-rapor. Alih-alih menyederhanakan, kondisi ini dipersepsikan sebagai penambahan beban kerja. Karena keterbatasan waktu dan belum matangnya kesiapan sistem. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan, sebaik apa pun tujuannya, membutuhkan kesiapan teknis dan komunikasi yang jelas sebelum diterapkan.
Namun sesungguhnya, persoalan utama guru bukan semata soal aplikasi. Tantangan paling berat justru terletak pada proses penentuan nilai itu sendiri. Mengolah nilai siswa bukan pekerjaan mekanis. Ia adalah proses pedagogis yang sarat pertimbangan dan tanggung jawab.
Dalam kurikulum saat ini, guru dihadapkan pada kondisi di mana siswa tidak lagi tinggal kelas. Setiap anak harus melanjutkan ke jenjang berikutnya, terlepas dari capaian akademiknya. Di sinilah dilema muncul. Guru harus menjaga standar pembelajaran, tetapi juga mempertimbangkan perkembangan dan kondisi individual siswa. Ketika seorang siswa belum mencapai Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP), guru tidak bisa serta-merta memberi nilai rendah tanpa refleksi mendalam.
Guru kemudian menelusuri kembali seluruh proses belajar siswa: hasil tugas, ulangan harian, proyek, hingga sikap dan kehadiran selama satu semester. Tidak jarang, remedial dan penugasan tambahan diberikan. Bukan sekadar untuk menaikkan angka, tetapi agar siswa benar-benar memahami materi dan bertanggung jawab atas proses belajarnya. Sayangnya, proses panjang dan melelahkan ini jarang terlihat. Publik hanya melihat angka akhir di rapor, tanpa mengetahui pertimbangan dan diskusi yang melatarbelakanginya.
Di titik inilah penilaian sejatinya menjadi proses refleksi. Guru tidak hanya menilai siswa, tetapi juga menilai efektivitas pembelajaran yang telah ia lakukan. Apakah metode yang digunakan sudah tepat? Apakah semua siswa mendapat kesempatan belajar yang adil? Apakah materi disampaikan dengan cara yang dapat dipahami oleh seluruh kelas? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap muncul ketika guru berhadapan dengan data nilai.
Jika dibandingkan dengan mempelajari aplikasi e-rapor, proses pengolahan nilai jelas jauh lebih rumit. Karena yang dihadapi bukan sekadar sistem digital, melainkan manusia, anak-anak dengan latar belakang, kemampuan, dan tantangan yang berbeda-beda. Setiap angka di rapor sejatinya merepresentasikan cerita belajar seorang anak.
Sayangnya, beban administrasi yang menumpuk sering kali menggerus ruang refleksi tersebut. Guru terjebak pada tenggat waktu dan target penyelesaian, bukan pendalaman makna penilaian. Kondisi ini patut menjadi perhatian bersama. Teknologi seharusnya hadir untuk membantu guru bekerja lebih manusiawi, bukan justru menambah kelelahan kolektif.
E-rapor hanyalah alat. Ia tidak akan pernah menggantikan peran guru dalam memahami siswa secara utuh. Guru membutuhkan sistem penilaian yang sederhana, jelas, dan konsisten agar energi mereka dapat difokuskan pada pembelajaran dan pendampingan siswa. Penilaian seharusnya menjadi sarana tumbuh kembang, bukan momok yang menekan siswa maupun guru.
Di tengah tuntutan adaptasi kebijakan, penguasaan teknologi, dan tanggung jawab moral terhadap anak didik, dedikasi guru patut diapresiasi. Karena di balik rapor yang tampak sederhana, tersimpan kerja panjang yang dijalankan dengan hati dan nurani. Jika sistem penilaian ingin benar-benar diperbaiki, dialog dengan guru harus menjadi prioritas—bukan sekadar instruksi satu arah.
Pada akhirnya, tujuan pendidikan bukanlah rapor yang sempurna, melainkan manusia yang terus bertumbuh dan belajar. Dan guru memahami itu, karena merekalah yang menyaksikan prosesnya setiap hari di ruang kelas.
Oleh ; Bripka Simeon Sion ( Guru pada SMK Tunas Isai Kabupaten Kupang)




