Menakar Filsafat Hukum di Balik UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

Oleh: Kombes Pol Henry Novika Chandra, S.I.K., M.H/ Kabidhumas Polda NTT
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan capaian monumental dalam hukum pidana Indonesia. Ia lahir bukan sekadar sebagai respons terhadap meningkatnya angka kekerasan seksual, namun sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap harkat dan martabat manusia yang selama ini kerap terabaikan, khususnya para korban kekerasan seksual. Dalam bingkai filsafat hukum, eksistensi UU ini dapat dikaji melalui tiga dimensi utama: ontologi, aksiologi, dan epistemologi hukum.
Pertama, Ontologi: Hakikat dan Dasar Keberadaan UU TPKS
Ontologi hukum menyentuh aspek hakikat—mengapa suatu hukum itu harus ada. UU TPKS secara ontologis lahir dari realitas sosial bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan yang kompleks, tersembunyi, dan seringkali sulit diungkap. Ia bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pelanggaran terhadap kemanusiaan dan nilai-nilai moral paling mendasar.
UU TPKS hadir dengan kesadaran bahwa hukum yang sebelumnya berlaku terlalu sempit dalam mendefinisikan kekerasan seksual. Tindakan seperti pelecehan non-fisik, eksploitasi seksual berbasis elektronik, hingga perbudakan seksual belum memiliki tempat yang memadai dalam kerangka hukum pidana konvensional. Oleh karena itu, keberadaan UU TPKS merupakan manifestasi dari tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan secara utuh dan menyeluruh bagi warga negaranya.
Kedua, Aksiologi: Nilai-Nilai dan Tujuan yang Diusung
Aksiologi hukum membahas nilai dan tujuan dari keberadaan hukum. UU TPKS mengedepankan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap korban. Berbeda dengan paradigma hukum pidana klasik yang berfokus pada penjeraan pelaku, UU TPKS menempatkan korban sebagai pusat perhatian.
Beberapa nilai dan tujuan utama UU TPKS antara lain:
- Melindungi dan memberdayakan korban, bukan hanya melalui proses hukum, tetapi juga melalui layanan pemulihan secara holistik.
- Mendorong pencegahan, melalui edukasi publik dan perubahan pola pikir masyarakat terkait norma seksual dan relasi kuasa.
- Menjamin keadilan, dengan memberikan ruang hukum yang memadai untuk menghukum pelaku serta memberikan hak-hak korban seperti restitusi dan rehabilitasi.
- Mewujudkan kesetaraan gender, dengan mengakui bahwa kekerasan seksual kerap berakar dari relasi sosial yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
- Dengan begitu, UU TPKS bukan hanya sekadar alat penghukuman, tetapi sekaligus alat transformatif untuk membentuk tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi.
Ketiga, Epistemologi: Cara Hukum Diketahui dan Diterapkan
Secara epistemologis, UU TPKS merevolusi cara kita memahami dan menerapkan hukum pidana terkait kekerasan seksual. Undang-undang ini mendorong pergeseran paradigma penegakan hukum dari yang bersifat pelaku-sentris menjadi korban-sentris.
UU TPKS mengakui kompleksitas pembuktian dalam kasus kekerasan seksual, yang tidak selalu bisa mengandalkan bukti fisik. Ia membuka ruang untuk bukti digital, kesaksian psikologis, dan pendekatan multidisiplin yang melibatkan tenaga kesehatan, pekerja sosial, hingga psikolog forensik.
Lebih dari itu, UU TPKS juga menekankan pentingnya sensitivitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Diperlukan pelatihan khusus agar penyidik, jaksa, dan hakim mampu bersikap empatik dan memahami dinamika psikologis korban. Proses hukum yang bebas dari victim blaming dan reviktimisasi menjadi keharusan dalam implementasi UU ini.
Rekomendasi Strategis agar UU TPKS Efektif Diterapkan
Agar nilai-nilai luhur dalam UU TPKS tidak berhenti pada teks hukum semata, diperlukan strategi implementatif sebagai berikut:
- Sosialisasi dan Edukasi Masif: Literasi hukum masyarakat terkait UU TPKS masih rendah. Perlu digalakkan kampanye publik, khususnya di sekolah, kampus, dan komunitas akar rumput.
- Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum: Pelatihan berkelanjutan dengan pendekatan berbasis trauma dan keadilan restoratif harus menjadi bagian dari sistem pendidikan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
- Optimalisasi Layanan Terpadu: Setiap daerah perlu memiliki pusat layanan terpadu yang menyediakan pendampingan hukum, psikologis, dan medis secara mudah diakses oleh korban.
- Penguatan Mekanisme Pelaporan: Saluran pelaporan yang ramah korban, anonim, dan cepat harus dikembangkan, termasuk lewat platform digital yang aman.
- Keterlibatan Masyarakat Sipil: LSM, tokoh agama, dan tokoh adat harus diberdayakan sebagai mitra negara dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
- Pembentukan Satuan Tugas Khusus: Unit kerja khusus yang menangani kekerasan seksual di tingkat Polri dan Kejaksaan akan mempercepat respon terhadap kasus serta meningkatkan kualitas penanganan.
- Integrasi dalam Kurikulum Pendidikan: Pendidikan seksualitas, kesetaraan gender, dan pencegahan kekerasan seksual harus menjadi bagian dari pendidikan karakter sejak usia dini.
- Evaluasi Berkala dan Reformasi Regulasi: Pemerintah dan DPR perlu secara berkala meninjau efektivitas UU TPKS, termasuk kemungkinan revisi untuk memperkuat substansi dan implementasinya.
Penutup
UU TPKS adalah bentuk evolusi hukum yang tidak hanya menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, tetapi juga menjawab jeritan sunyi para korban yang selama ini tak terdengar. Ia adalah perwujudan dari hukum yang hidup—living law—yang tidak hanya berbicara tentang aturan, tetapi juga tentang keadilan, rasa aman, dan harkat manusia.
Jika diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, UU TPKS dapat menjadi pelindung sejati bagi korban, sekaligus alat pendorong transformasi sosial yang lebih adil dan bermartabat bagi bangsa Indonesia.
Diedit kembali oleh : Bripka Simeon Sion H., S.Kom